Perang Pandan (Mekare-kare) Bali

 

Perang Pandan (Mekare-kare) Bali

    Perang Pandan. Bali merupakan sebuah wilayah di Indonesia yang akan selalu menarik untuk dibahas. Khususnya jika berkaitan dengan tradisi dan budaya yang menyertai kehidupan masyarakatnya. Sebuah pulau yang terlanjur menjadi primadona dari setiap sudut yang menjadi bagiannya.

    Dalam hal ini, Kabupaten Karangasum di ujung timur Bali merupakan salah satu sudut yang paling terkenal untuk memperkaya cita rasa budaya pulau dewata. Karangasem adalah rumah bagi desa Tenganan, desa tradisional yang kaya akan tradisi dan budaya yang masih lestari. Desa Tenganan bukan hanya tempat lahirnya tarian sakral Mabuan Mourandaha, tetapi juga menjadi tuan rumah Perang Pandan dan Mekalekale. Sebuah upacara tahunan yang telah diadakan secara turun-temurun. Dengan popularitas budaya Tenganan, tradisi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.

Sejarah Tradisi Mekare-kare

     Tradisi Mekare-kare terselenggara sebagai penghormatan bagi Dewa Indra. Masyarakat Tenganan memiliki pemahaman Hindu yang berbeda dari umat Hindu pada umumnya. Mereka percaya bahwa Dewa Indra adalah Dewa tertinggi dan bukan seperti paham Tri Murti yakni Brahma, Wisnu dan Siwa.

    Masyarakat Tenganan menyakini bahwa Dewa Indra adalah dewa dari segala dewa yang juga sebagai Dewa Kemakmuran. Tradisi Perang Pandan terkait erat dengan cerita yang mengiringi sejarah Desa Tenganan. Kisahnya, dahulu desa ini dan sekitarnya diperintah oleh seorang raja bernama Maya Denawa. Sayangnya, Maya Denawa merupakan seorang raja yang terkenal lalim dan melampaui batas. Raja tersebut bahkan berani menyebut dirinya Tuhan dan melarang masyarakat di wilayah yang ada di bawah kekuasaannya menjalankan ritual keagamaan. Melihat keadaan itu, para dewa pun mengutus Dewa Indra sebagai panglima perang untuk turun ke bumi dan mengakhiri keangkaramurkaan yang terjadi di sana. Maya Denawa juga terkenal sebagai seorang raja yang sakti, bahkan mampu berubah-rubah menjadi berbagai bentuk. Peperangan sengit pun tak terelakan, namun pada akhirnya Dewa Indra yang memenangkan peperangan tersebut. Melalui kejadian tersebut, rakyat Tenganan memberikan sebuah penghormatan kepada Dewa Indra dalam bentuk tradisi upacara Perang Pandan atau Mekare-kare.

Pelaksanaan Perang Pandan

    Upacara Perang Pandan merupakan ritual keagamaan bagi masyarakat Tenganan yang biasa terselenggara pada sasih kalima atau bulan kelima dalam penanggalan Bali. Tradisi ini menjadi bagian dari upacara Sasih Sembah yakni upacara keagamaan terbesar dalam kebudayaan masyarakat Tenganan.

    Tradisi Mekare-kare menjadi sebuah simbol pertempuran antara prajurit dari Dewa Indra melawan raja Maya Danawa.Tradisi ini sangat unik karena dalam pelaksanaannya menggunakan properti pandan berduri berukuran besar. Bunyi Gamelan Selondang menjadi penanda awal pertarungan itu.

    Selanjutnya para pria, baik remaja maupun anak-anak bertarung di tengah arena yang telah tersedia. Dengan bertelanjang dada mereka bertarung satu lawan satu bersenjatakan pandan berduri yang bentuknya menyerupai gada. Bertarung sambil menari, bergiliran kurang lebih selama 3 jam.

    Tradisi Perang Pandan di Tenganan biasanya berlangsung sekitar pukul 2 siang, lokasinya berada di depan balai pertemuan desa atau bale patemu. Tradisi upacara ini semakin menarik karena seluruh warga akan mengenakan pakaian adat Tenganan yang berupa kain tenun pengringsingan.

    Dalam duel, selalu ada luka gores akibat pandan berduri yang selanjutnya diobati dengan ramuan tradisional berbahan kunyit. Karena kuatnya penghormatan pada Dewa Indra, masyarakat melakukan upacara ini dengan ikhlas, gembira meski mereka harus berdarah-darah akibat pandan berduri.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url